Donald Trump Mengumumkan Kebijakan Baru Yang Sangat Berdampak Bagi Indonesia

Presiden ke-47 Amerika Serikat pada minggu tanggal 05 April 2025 ini baru saja mengumumkan dan menetapkan kebijakan baru, kebijakan tersebut merupakan bagian dari agenda ekonominya untuk melindungi kepentingan perdagangan Amerika Serikat dan mengurangi defisit perdagangan dengan negara-negara mitra dagangnya. Walaupun, memicu ketegangan diplomatik dengan negara-negara yang bersangkutan. Kebijakan ini mencakup tarif universal sebesar 10% untuk semua negara dan tarif khusus yang lebih tinggi untuk beberapa negara, termasuk China (125%), Indonesia (32%), Jepang (24%), dan India (26%).

Namun, Donald Trump memutuskan untuk menunda penerapan tarif timbal balik sebesar 32% terhadap Indonesia selama 90 hari. Tarif ini sebelumnya memang direncanakan berlaku mulai 9 April 2025. Dengan adanya penundaan ini memberi ruang bagi Indonesia untuk bernegosiasi dan memperkuat strategi ekspor untuk mengurangi dampak perang dagang dengan Amerika Serikat.

Penundaan tarif yang diumumkan oleh Donald Trump bersifat menguntungkan bagi negara kita spesifiknya pada pasar keuangan Indonesia. Karena membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi melonjak. Sebelumnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di posisi 5.967,99 pada perdagangan sehari sebelum tanggal 09 April 2025. Pada hari itu, IHSG mengalami penurunan sebesar 0,47% dari hari sebelumnya. Setelah Donald Trump mengumumkan penundaan tarif, IHSG kemudian melonjak hingga mencapai 6.254,02 pada tanggal 10 April 2025, dengan kenaikan sekitar 4,79%.

Sementara tarif Indonesia ditunda, Donald Trump justru meningkatkan tarif terhadap Tiongkok dari 34% menjadi 125%. Kebijakan ini merupakan respons langsung terhadap tindakan balasan dari China yang menaikkan tarif barang-barang dari Amerika Serikat hingga 84%. Ini menandakan eskalasi dalam perang dagang antara kedua negara, yang telah berlangsung selama beberapa tahun dan semakin memanas akibat saling mengenakan tarif yang tinggi. Dengan adanya kebijakan ini menjadi memperburuk hubungan diplomatik antara kedua negara ekonomi terbesar dunia (Amerika Serikat dan China), yang sebelumnya sudah tegang akibat perang dagang.